bentukan Presiden. Itu mestinya sebuah tamparan kepada sang pembentuk
satgas."
DALAM setiap perkara, dakwaan jaksa adalah pintu masuk bagi hakim
menjatuhkan vonis. Jika dakwaan jaksa lemah, mudah diduga, putusan
hakim pun enteng.
Itulah yang terjadi dalam perkara Gayus Tambunan. Dalam sidang kemarin
di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, majelis hakim menjatuhkan vonis
tujuh tahun kepada Gayus. Vonis itu jauh di bawah tuntutan jaksa 20
tahun.
Gayus adalah orang ketujuh dari jaringan mafia pajak yang dijatuhi
hukuman. Sebelumnya hakim telah menjatuhkan vonis enam tahun kepada
Andi Kosasih, tiga tahun kepada Lambertus Palang Ama, dua tahun kepada
Ajun Komisaris Polisi Sri Sumartini, lima tahun bagi Komisaris Polisi
Arafat Enanie, dua tahun bagi hakim Muhtadi Asnun, dan 1,5 tahun untuk
Alif Kun coro. Jika dibandingkan dengan keenam orang itu, Gayus
dihukum lebih berat.
Sekalipun demikian, sejujurnya kita terkejut dengan vonis majelis
hakim sebab Gayus sepantasnya dihukum mati. Kita pantas terkejut
karena selama persidangan, majelis hakim yang dipimpin Albertina Ho
mengajukan pertanyaan tajam dan kritis kepada terdakwa, saksi, dan
ahli sehingga kerap membuat saksi tidak berkutik. Dalam persidangan
hakim tentu saja leluasa menggali fakta untuk memperkuat keyakinan
ketika menjatuhkan vonis. Namun ketika menyusun vonis, hakim tentu
saja kembali berpedoman pada dakwaan jaksa.
Faktanya, sekalipun dibungkus dengan tuntutan 20 tahun penjara, jaksa
hanya mendakwa Gayus dengan pasal penyuapan sehingga vonis tujuh tahun
dianggap wajar. Jaksa memang membuat konstruksi hukuman yang enteng
bagi Gayus.
Namun, adilkah vonis tujuh tahun untuk Gayus?
Terus terang tidak. Rasa keadilan publik tercabikcabik oleh vonis itu.
Secara hukum formal, vonis itu bisa saja benar. Namun bagi keadilan
publik, vonis itu sungguh melukai rasa keadilan.
Bila sebelum vonis dijatuhkan Gayus leluasa piknik keluar tahanan,
jangan heran jika setelah vonis ini Gayus akan lebih banyak lagi
berleha-leha di luar penjara. Masa hukuman itu akan sangat sedikit
dijalaninya di balik jeruji besi. Sebab mafia pajak pun ramai-ramai
menyiapkan remisi untuknya sehingga jangan kaget bila tiba-tiba Gayus
sudah bebas.
Gayus sungguh sebuah fenomena tentang betapa mafia hukum telah
membelit negeri ini. Seusai divonis, Gayus malah berkoar-koar Satgas
Pemberantasan Mafia Hukum bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
yang telah merekayasanya. Antara lain, satgaslah yang memintanya agar
fokus kepada tiga perusahaan kelompok Bakrie yang telah menyuapnya.
Padahal dalam persidangan, Gayus terus terang mengakui, bahkan
memerinci uang yang diterimanya dari tiga perusahaan kelompok Bakrie.
Tentu saja akal waras kita lebih memercayai keterangan di persidangan,
bukan di luar sidang seperti dilontarkan Gayus kemarin.
Keterangan Gayus di luar sidang itu adalah upaya untuk mengecohkan
agar mafia pajak tetap tak terjamah. Bahkan, dengan semua
pernyataannya itu, Gayus telah menghancurkan satgas bentukan Presiden.
Itu mestinya sebuah tamparan kepada sang pembentuk satgas.
--
"One Touch In BOX"
To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com
"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus
Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar